Wibisono kecil menendang bola plastik merah di hadapannya ke arah batu-batu yang disusunnya sendiri di pinggir lapangan desa itu. Seragam SD yang dipakainya tampak kumal dan basah oleh keringat. Sesekali ia melirik ke arah teman-temannya yang sedang bermain bola di tengah lapangan. Ia menoleh ke arah jam dinding yang ada di Balai RW yang berjarak sekitar 5 meter darinya. Waktu menunjukkan pukul 2 siang dan matahari bersinar dengan sangat terik. Ia kembali meletakkan bola merah itu di kakinya dan bersiap menendangnya ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekatinya..
Desa Sumbermanjing - 10 tahun yang lalu.
"Kok dulinan dewe, le?" ("Kok bermain sendiri, nak?") tanya orang yang baru datang itu. Wibisono sedikit terkejut dengan kedatangan orang asing yang tiba-tiba itu. Ia menoleh ke arah bapak berusia separuh baya itu. Bapak itu tampak mengenakan topi caping yang biasa dipakai para petani. Baju dan celana bapak itu tampak lusuh dan tampak lumpur di sana sini yang mulai mengering di pakaian maupun kakinya. "Oh, iya pak. Saya tidak diajak bermain oleh teman-teman saya," jawab Wibisono. (diskusi ini menggunakan bahasa Jawa, namun untuk kenyamanan para pembaca saya tulis menggunakan bahasa Indonesia :))
"Hah? Mengapa kamu tidak diajak bermain bersama? Saya lihat mereka bermain 5 lawan 6, " tanya bapak itu heran. "Kata mereka saya ga bisa main bola, pak. Saya terlalu pendek untuk bermain bola dan kaki saya panjang sebelah, " jawab Wibisono. "Hahaha.. hahaha.. hahaha.." Bapak itu tertawa terbahak-bahak. Wibisono heran melihat respon bapak itu. Ia pun bertanya, "Lho memangnya apa yang lucu, pak?" Bapak itu masih kesulitan menghentikan tawanya. Ia masih terkikik selama beberapa detik.
Tampak lelah tertawa, bapak itu duduk di batu besar yang ada di sebelahnya. Batu itu teduh karena tertutup oleh dedaunan dari pohon besar yang ada di sampingnya. Bapak itu menghela nafas dan mencopot topinya. Ia melihat ada sebuah gelas dan kendi di sebelahnya. Ia menuangkan air ke dalam gelas itu dan meminumnya. Setelah itu ia menatap Wibisono dengan tajam dan bertanya dengan mimik muka serius, "Apa kamu percaya pada perkataan mereka itu?" Wibisono menggeleng dan menjawab, "Saya sebenarnya tidak percaya pak, tapi.."
"Bagus!" potong bapak itu. "Coba kamu tendang bola plastik itu ke arah batu-batu yang kamu susun itu. Ingat, kamu harus fokus sebelum menendang ke situ. Saya percaya kamu bisa melakukannya," lanjut bapak itu. "Siap, pak!" sahut Wibisono. Matanya tampak berbinar. Ia mengalihkan pandangannya ke arah bola merah itu, kemudian ia mem-fokus-kan pikirannya ke arah bola dan batu-batu itu. Sejenak kemudian ia bisa merasakan hembusan angin di sekitarnya. Jarak bola dan batu-batu itu sudah terekam di otaknya, demikian pula dengan kecepatan maupun arah angin. Ia mengambil ancang-ancang, berlari pendek, dan menendang bola itu.
"Prak!" Bola itu tepat mengenai bagian tengah batu-batu itu. Begitu keras dan tepatnya tendangan Wibisono, batu-batu itu sampai berlompatan dan berserakan. Prok! Prok! Prok! "Bagus! Bagus! Itu yang ingin saya lihat," puji bapak itu sambil bertepuk tangan. "Kemari kamu, duduklah di sini," perintah bapak itu sambil menepuk-nepuk batu di sampingnya. Wibisono menurut dan duduk di batu itu. "Coba kamu katakan pada saya, mana di antara teman-temanmu yang sedang bermain itu yang paling hebat?" kata bapak itu.
"Hmm.. Menurut saya si Woto, yang pakai kaos merah itu, pak, " kata Wibisono. "Yang merah mana? Ada banyak yang pakai merah," sahut bapak itu. "Itu pak, yang pakai kaos Tim FC Bertocaline, tim favoritnya," jawab Wibisono sambil menunjuk ke arah lapangan. "Oh yang itu. Mengapa kok dia paling hebat?" tanya bapak itu lagi. "Dia pandai melewati lawan, pak. Tidak ada teman saya yang bisa menghadangnya kalau sudah satu lawan satu. Larinya juga cepat sekali. Tapi.." Wibisono berhenti. Ia tampak berpikir.
"Tapi apa?" desak bapak itu. "Ehm.. sepertinya dia jarang bikin gol pak," sambung Wibisono. "Nah, betul itu," jawab bapak itu. Wibisono heran mendengar jawaban itu. Ia menoleh ke arah bapak itu dan bertanya, "Lho, bapak sering ke sini ya? Kok bisa tahu?" Bapak itu tersenyum sambil menggeleng. "Saya cukup melihat seseorang bermain selama 10 menit untuk tahu seperti apa kemampuannya," jawabnya. "Si Woto itu punya kemampuan 'take on' yang bagus, yaitu kemampuan untuk menciptakan situasi berbahaya dengan sukses melewati pemain lawan. Tetapi kemampuan itu saja tidak cukup dalam sebuah permainan."
"Terus apa yang diperlukan, pak?" tanya Wibisono. "Persis seperti yang kamu katakan tadi, nak. Kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan mencetak gol melalui akurasi tembakan, atau lazim disebut 'Shooting'. Si Woto itu tidak memiliki shooting yang bagus," jawab bapak itu. "Ooo.. Kalau Wawan bagaimana, pak? Yang pakai kaos ungu itu," tanya Wibisono. "Menurutmu..?" sahut bapak itu. "Menurut saya dia itu aneh pak, kelihatannya nendang bola asal-asalan, tapi jatuhnya mesti di kaki teman. Dan yang dapat bola darinya selalu bisa atau hampir mencetak gol," jawab Wibisono.
Bapak itu tertawa. "Itu bukan aneh, nak. Itu namanya 'Chance creation', yaitu kemampuan untuk menempatkan rekan satu tim dalam posisi baik untuk mencetak gol. Kamu benar, menurut saya justru dia yang paling bagus di antara semua yang main itu." Bapak itu berdiri, mengenakan topinya, dan menoleh ke arah Wibisono. "Waktu saya sudah habis, saya masih ada keperluan. Senang omong-omong dengan kamu, nak. Oh iya, namamu siapa dan umurmu berapa?" tanya bapak itu. "Saya Wibisono pak, usia 6 tahun," jawab Wibisono.
"Bagus bagus. Kamu latihan terus ya. Kamu akan jadi besar, nak.." tutup bapak itu sambil pergi meninggalkan Wibisono. Wibisono masih terus melamun melihat kepergian bapak itu. "Bapak itu hebat sekali bisa tahu kemampuan teman-temanku. Aku akan terus berlatih seperti pesannya, ah. Biar aku bisa jadi besar dan tidak kecil terus seperti sekarang, hehehe.." pikir Wibisono. Ia tersenyum-senyum sendiri sehingga tidak sadar bahwa bola tendangan temannya mengarah ke kepalanya. Tentu saja bola itu mengenai kepalanya dan membuyarkan semua lamunannya. Sore itu ia pulang dengan kepala yang bengkak sebesar telur puyuh.
Bagaimana kisah Wibisono selanjutnya? Nantikan terus di sini.. :)