Pak Made berjalan mendekat ke arah 3 orang muridnya itu dan menggulung lengan kaos olahraga yang dipakainya. "Coba kalian lihat ini baik-baik," kata Pak Made seraya menunjukkan bekas luka memanjang di lengan bagian atasnya. Prasetya, Yulius, dan Wibisono jelas sangat terkejut melihat bekas luka itu. "Luka ini bapak dapat sehabis pertandingan final yang menegangkan itu."
"Nanti akan kuceritakan lebih detil. Namun yang pasti setelah pesta perayaan juara yang semu itu, kami bertiga tidak dianggap sama sekali oleh ke-enam orang yang tadi masuk ke dalam ruangan itu dan juga oleh pelatih kami," lanjut Pak Made. "Pelatih kami hanya memuji kerja keras Erik selama kompetisi dan tidak menyebut nama kami bertiga satu kali pun, sebelum akhirnya beliau membubarkan tim. Hambar, sedih, jengkel, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah yang kami bertiga rasakan waktu itu." Pak Made terdiam sejenak seraya menghela nafas.
"Sepulang dari final itulah, kejadian yang akhirnya membuat karir sepakbola bapak berakhir. Di perjalanan pulang, ketika bapak sedang berjalan di tepi sebuah sungai, yang memang selalu bapak lewati setiap kali bapak pulang pergi ke kampus, tiba-tiba ada sebuah mobil dengan kecepatan tinggi mencoba menabrak bapak. Sampai sekarang pun bapak tidak tahu siapa yang ada di dalam mobil itu."
"Sontak saja bapak melompat ke samping, ke arah sungai, karena terkejut dengan peristiwa itu. Naas bagi bapak, posisi jatuh bapak waktu itu kurang baik sehingga lengan bapak terkena kawat berduri yang ada di sekitar tepi sungai itu. Luka panjang pun tercipta di tangan bapak. Tidak berhenti sampai di situ, pinggul bapak terbentur ke sebuah batu yang tajam sebelum bapak tercebur ke dalam sungai."
"Akibat kejadian itu, bapak harus dirawat di rumah sakit selama 1 minggu. Dan seperti yang kalian lihat, sampai sekarang pun bapak masih berjalan dengan pincang karena tulang pinggul bapak retak dan menyebabkan kaki bapak panjang sebelah. Di situlah karir sepakbola bapak terhenti tanpa sekalipun pernah membela timnas."
Terlihat raut kesedihan di mata Pak Made. Wibisono membayangkan apabila ke-empat orang itu tetap bersatu dan membela timnas, apa yang bisa terjadi dengan Timnas Indonesia. Timnas pasti akan berjaya di dunia internasional! Wibisono menggumpalkan tangannya tanda ia geram karena hanya akibat ulah segelintir oknum, peluang timnas untuk dibela orang2 terbaik akhirnya menjadi sirna.
"Setelah peristiwa final itu, tim kampus ini dilarang untuk mengikuti kompetisi itu dengan alasan yang dibuat-buat. Mereka menunjukkan bukti-bukti palsu yang menyudutkan kami seolah-olah tim kami menyogok wasit dan perangkat pertandingan sehingga bisa sampai ke final meskipun tidak diperkuat satu pun pemain dari tim profesional. Di situ kami merasa harga diri kami diinjak-injak."
"Erik tentu saja berpindah kampus ke Universitas Cahaya Abadi tak lama kemudian. Sementara itu FR10 dan Sugeng berpindah-pindah membela kampus-kampus yang lain sebagai pemain pinjaman. Tentu saja karena tim kampus kami tidak diijinkan mengikuti pertandingan. Di situ bakat FR10 semakin bersinar sehingga akhirnya dia direkrut oleh salah satu tim besar di Jawa Barat. Di sanalah karirnya bersinar sehingga ia menjadi langganan timnas nantinya."
"Sayangnya Sugeng kurang beruntung. Dia direkrut oleh tim yang cukup besar juga, namun ia jarang dimainkan karena pelatihnya waktu itu lebih mengandalkan pemain gaek daripada pemain muda. Karirnya pun meredup dan ia hanya sempat dua kali membela timnas sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun."
"Saat itu sebenarnya bapak berpikir, bahwa Erik lah yang paling berpeluang besar untuk membela timnas. Itu karena dia sangat dekat dengan oknum-oknum yang datang ke pertandingan kami waktu itu. Namun, syukurlah karena ternyata di organisasi PSSI masih ada orang yang berhati mulia. Orang ini mengetahui tentang kecurangan dan usaha menyuap yang dilakukan waktu itu, sehingga ia pun tidak pernah memanggil Erik untuk membela timnas."
"Ya, orang itu adalah Rahmad Hermawan. Pemandu bakat timnas yang kemudian melatih timnas mulai dari U-19, U-21, U-22, sampai timnas senior," jelas Pak Made. Wibisono melongo mendengar itu. Matanya terbelalak dan ia bertanya dengan lirih, "Apakah itu adalah RH, yang asistennya menemui saya dua minggu lalu itu, pak?" Pak Made mengangguk. "Benar, Wibisono. Waluyo, yang menemuimu dua minggu lalu itu adalah asisten dari Rahmat Hermawan, atau yang lebih dikenal dengan julukan RH."
"Wah, kamu terkenal sekali, Wibi!" seru Prasetya dan Yulius nyaris bersamaan sambil menepuk pundak Wibisono. Wibisono hanya bisa tersenyum kecil. Pak Made menghela nafas dan melanjutkan ceritanya, "RH inilah sosok yang paling bapak kagumi waktu itu dan sampai sekarang, karena di tengah carut marutnya persepakbolaan tanah air, dia menjadi salah satu orang yang berani berdiri di jalan yang benar. Dia berani menentang arus dan menolak semua upaya sogok yang diarahkan padanya."
"Kompetisi Garuda Muda ini pun sempat dibekukan selama 2 tahun sebelum akhirnya diadakan lagi dan diubah menjadi 2 tahun sekali agar generasi yang sama hanya bisa bermain 2 kali di kompetisi ini sebelum mereka lulus, untuk menghindari terjadinya kecurangan. Namun demikian, Tim Kampus Cahaya Abadi terus bermain kotor dengan praktek suap maupun melukai pemain lawan yang berpotensi menyulitkan mereka. Tidak heran, dari 10 kali kompetisi ini diadakan sejak final itu, mereka berhasil menjuarainya sebanyak 8 kali."
"Dua kali mereka tidak menjadi juara hanyalah ketika mereka tidak mengikuti kompetisi ini," lanjut Pak Made. "Mereka menghalalkan segala cara karena tampaknya ada oknum kuat yang terus membiayai tim sepakbola kampus ini. Tak heran fasilitas olahraga di kampus mereka sangat bagus, hampir menyerupai fasilitas yang dimiliki oleh sebuah klub profesional tingkat menengah."
"Tiga tahun yang lalu, akhirnya tim kampus kita diperbolehkan lagi untuk mengikuti kompetisi ini. Karena itulah..." seru Pak Made sembari meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja. Ia menatap tajam ke arah tiga murid yang ada di depannya dan kemudian melanjutkan dengan tegas, "... kita harus memenangkan kompetisi tahun ini! Dengan kalian yang ada saat ini, aku yakin kita pasti bisa!" Pak Made menegakkan tubuhnya dan menantang ketiga muridnya itu, "Apa kalian siap? Apa kalian yakin kita pasti bisa?"
Prasetya, Yulius, dan Wibisono membalas tantangan Pak Made itu dengan berdiri dan sambil mengepalkan tangan ke atas, mereka berteriak, "Siap, Pak! Kita Pasti Bisa!"
Ruangan kantor Pak Made siang itu menjadi saksi bisu ke-empat orang yang menjalin komitmen untuk memenangkan kompetisi itu. Mereka ber-empat ingin membuktikan bahwa uang tidak akan bisa membeli segalanya dan bahwa uang tidak akan bisa mengalahkan tekad yang kuat dan hati yang tulus.
Bagaimana kelanjutan kisah ini? Simak terus di episode selanjutnya :)