Disukai atau tidak, dipercayai atau tidak, fakta memperlihatkan bahwa di dunia sepak bola sesungguhnya ada pola-pola unik
*) yang terjadi, sebagai contoh adalah pola unik
Juara Liga Champion beberapa tahun terakhir. Setidaknya dalam 4 tahun terakhir terbentuk satu kesimpulan pola unik “bila sebuah klub eropa ingin menjuarai Liga Champion, klub tersebut harus mengalahkan Barcelona terlebih dahulu.” Faktanya pada tahun 2010 Inter Milan menjadi juara Liga Champion setelah mengandaskan Barcelona di Semi Final, kemudian tahun 2012 giliran Chelsea menjadi kampiun eropa setelah menghentikan langkah El Barca di pra final, dan yang masih segar dalam ingatan adalah langkah fantastis Bayern Munchen yang menjadi juara Liga Champion tahun ini setelah menghempaskan Barcelona dengan tujuh gol berbalas kosong before the final.
Contoh pola unik lain adalah sebutan
“Juara Tanpa Mahkota” yang disematkan pada tim nasional (timnas) senior Belanda di Piala Dunia. Entah mengapa timnas Belanda yang merupakan pemula TOTAL FOOTBALL selalu menjalani pola unik sebagai Runner Up bila sudah mencapai final Piala Dunia. Tahun 1974 Belanda menjadi runner up setelah kalah dari Jerman, 4 tahun kemudian Belanda kembali harus pulang tanpa trophy setelah kalah di final melawan Argentina, dan yang terakhir pada Piala Dunia 2010 Belanda harus menerima kembali pola unik sebagai runner up setelah peluangnya menjadi juara Piala Dunia ditutup oleh Spanyol.
Setelah mencermati hal-hal tersebut, ternyata saya juga mendapati
“pola unik” negatif yang terjadi di Liga Top Level (TL) Indonesia khususnya yang terjadi pada
sang runner up TL. Pola unik negatif yang saya maksud adalah penurunan prestasi secara drastis yang terjadi pada sang runner up TL Indonesia di musim berikutnya. Misalnya yang terjadi pada AC Cool di musim 5. Pada musim tersebut AC Cool berhasil menjadi runner up pada debut pertamanya di TL Indonesia, namun ironis AC Cool langsung terdegradasi di musim berikutnya. Pola unik tersebut berulang pada Arema Malang. Seperti halnya AC Cool, klub berjuluk Singo Edan tersebut menjadi runner up di musim pertamanya di TL (musim 7), namun siapa sangka jika Arema Malang terdegradasi di musim berikutnya.
Apakah pola negatif ini akan senantiasa berulang? Bila demikian halnya, maka FCB adalah sasaran korban pola unik tersebut di musim 9. “Oooh tidaaak!!
demikianlah saya berteriak sebagai manajer FCB. Semoga saja tidak terjadi, namun ini jadi tantangan tersendiri bagi FCB untuk mematahkan pola unik tersebut sebagaimana Pemalang Rangers mematahkan (baca: membuang) julukan spesialis runner up Cup bagi dirinya setelah berhasil mengalahkan Fairy Dust di Final Cup musim 8. Tetapi kalaupun pola unik itu terjadi pada FCB ya apa mau dikata, yang jelas motto “we play games for fun” harus tetap dipegang, dan yang terpenting dari semuanya adalah tetap bersukacita.
Maaf teman-teman, ini sekadar celoteh sang penulis
untuk meramaikan forum Indonesia, tetap komera!
*) Beberapa penulis sepak bola sekuler menyebut pola unik sebagai "kutukan" namun saya tidak sependapat dengan hal tersebut karena sepak bola hanyalah salah satu permainan/olah raga yang personilnya tidak pernah persis sama dari waktu ke waktu.